Hari ini g membuka portal Kick Andy dan membaca halaman yang selalu menarik perhatian g. Andy's Corner. Dan airmata pun udah ga bisa g bendung lagi....
Penyesalan
Pernah terlintas dalam hati saya sebuah keraguan. Apakah menuliskan curahan hati saya di Andy’s Corner, yang kemudian diterbitkan menjadi buku, adalah keputusan yang benar? Banyak rahasia hidup saya yang selama ini tidak diketahui orang, terungkap di Andys’s Corner. Saya jadi merasa telanjang.
Jika akhirnya saya tetap menuliskan pergolakan bathin saya di Andy’s Corner, itu lebih karena dorongan ingin berbagi. Dengan harapan apa yang saya alami dan rasakan mudah-mudahan bisa menjadi cermin bagi siapapun yang membacanya. Setidaknya bagi saya pribadi. Namun kadang saya berharap kisah yang saya tulis tidak dibaca oleh orang-orang yang saya singgung di dalam tulisan tersebut. Karena itu saya sempat merasa ‘tidak enak hati’ ketika Mas Sentot, kakak Yanti, mengirim komentar setelah membaca kisah ‘Yanti’ di Andy’s Corner. Saya tidak menyangka ada keluarga Yanti yang membaca Andy’s Corner. Dalam komentarnya, Mas Sentot menjelaskan bahwa Yanti sudah meninggal.
Begitu pula ketika saya bercerita tentang seorang teman yang tidak bahagia karena harus menuruti keinginan orangtuanya untuk menjadi pegawai negeri. Padahal dia ingin mengikuti ‘Lentera Jiwanya’ sebagai jurnalis. Di dalam tulisan itu memang saya tidak menyebut nama. Tapi setelah tulisan itu terbit, sang teman yang sudah sekian tahun tidak jumpa rupanya membaca tulisan tersebut dan mengirim komentar. Dia berterima kasih karena saya masih mengingatnya.
Nah, yang paling saya khawatirkan adalah jika tulisan-tulisan saya di Andy’s Corner dibaca oleh keponakan-keponakan saya atau orangtua mereka (kakak-kakak saya). Sebab banyak cerita yang terlalu pribadi. Salah satunya tentang kakak saya, Gaby, yang meninggal karena kanker (Kematian 2). Saya berusaha agar anak-anak Gaby tidak membaca kisah sedih tentang ibu mereka. Saya tidak ingin tulisan saya itu nantinya akan membangkitkan kenangan mereka pada sang ibu tercinta.
Tetapi, apa mau dikata, salah satu anak Gaby ternyata membaca kisah tersebut. Setelah membaca kisah tentang ibunya, dia menulis surat untuk saya. Isi surat itu membuat saya terpana. Saya tidak menyangka dia memikul beban tersebut selama tujuh tahun. Atas seijin keponakan saya itu, suratnya saya tampilkan di Andy’s Corner kali ini. Berikut ringkasannya:
Dear Om Andy,
Apa kabar Om? Pada kesempatan ini aku ingin menceritakan sebuah kejadian yang aku pendam lebih dari tujuh tahun. Kenapa baru aku ceritakan sekarang? Karena aku baru saja membaca beberapa tulisan Om Andy mengenai Bunda di Andy’s Corner. Karena itu aku memberanikan diri untuk menceritakan hal ini ke Om Andy.
Ketika aku SMP, sebelum Bunda divonis kanker oleh dokter, Bunda ingin aku bisa masuk sebuah SMA favorit di Bogor. Tapi waktu itu aku tidak terlalu berminat karena standar pendidikan terlalu tinggi dan aku sadar biayanya sangat mahal. Aku tidak ingin menyusahkan Om Andy yang selama ini sudah membantu menopang dan membiayai hidup kami.
Waktu mendengar Bunda kena kanker, jujur saja aku dan adik-adik sangat terpukul. Kami belum siap menghadapi kenyataan bahwa Bunda terkena penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya. Tapi seiring perjalanan waktu, berkat nasihat Bunda, kami mulai siap menerima kenyataan. Sejak itu pula aku berubah pikiran soal sekolah.
Seorang anak tentu ingin membahagiakan orangtuanya. Apalagi kami yang tahu bahwa waktu kami tak sebanyak anak lainnya untuk merasakan hangatnya pelukan seorang ibu. Karena itu aku berusaha membuat Bunda bangga. Aku ingin mewujudkan keinginan Bunda agar aku masuk SMA favorit itu. Tapi jujur saja Om, aku takut. Aku takut gagal. Menurutku sangat sulit untuk bisa lolos tes masuk SMA tersebut karena NEM-ku pas-pasan.
Tapi keinginan yang kuat untuk membanggakan Bunda mengalahkan perasaan takut itu. Untungnya ada temanku yang mendukung keinginanku ini dan mendorong aku untuk belajar. Singkat cerita, akhirnya aku ikut ujian. Rabu, 11 Juli 2001, aku mendapat kado yang terindah dari Tuhan. Aku dinyatakan lulus.
Setelah pengumuman itu, aku bilang ke Dewi, Isti, Ella, Teguh, dan Oma agar merahasiakan dulu keberhasilanku ini ke Bunda. Aku ingin membuat kejutan buat Bunda. Aku ingin datang ke RS Dharmais dengan memakai seragam SMA yang sangat diidam-idamkan Bunda. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana Bunda akan sangat bangga anaknya bisa masuk sekolah favorit. Sudah terbayang wajah ceria Bunda, teriakan bahagianya, dan linangan air mata kebanggaannya.
Jumat, 13 Juli 2001, Kak Nona telepon mengajak aku dan adik-adik berlibur ke rumah Om Andy. Aku dan adik-adik semangat sekali bisa berlibur ke rumah Om Andy walau hanya tiga hari karena Senin adalah hari pertama masuk sekolah. Kak Nona akan jemput kami jam 13.00 WIB. Namun jam 11.00 temanku datang bersama ibunya. Mereka mengajak makan pizza untuk merayakan keberhasilanku. Aku tidak bisa menolak. Lagipula aku pikir toh nanti bisa menyusul ke Jakarta, ke rumah Om Andy, naik bus.
Waktu aku sampai di rumah Om Andy, aku kaget karena Kak Nona dan adik-adik juga baru tiba. Rupanya sebelum ke rumah Om Andy, Kak Nona dan adik-adik mampir dulu nengok Bunda di rumah sakit. Adik-adik kecewa dan marah sama aku. Mereka menyesali mengapa aku lebih memilih pergi dengan teman ketimbang menengok Bunda. Jujur saja aku tidak tahu kalau hari itu sebelum ke rumah Om Andy mereka ada rencana menengok Bunda.
Aku menyesal tidak ikut menjenguk Bunda. Namun aku mencoba mengobati perasaan itu dengan mengatakan Sabtu depan aku akan datang ke RS Dharmais untuk membuat surprise ke Bunda dengan memakai baju seragam SMA ku yang baru. Setelah masa orientasi siswa selama seminggu selesai, seragam baru akan dibagi. Itulah saatnya akan aku pakai dan kuperlihatkan pada Bunda.
Senin, 16 Juli 2001, sekitar jam 03.00 dinihari ada orang mengetok-ngetok pagar rumah. Oma yang membukakan pintu. Rupanya tetangga sebelah. Samar-samar aku mendengar percakapan dia dan Oma. Tetangga itu memberitahukan ada kabar dari RS Dharmais bahwa kondisi Bunda kritis. Om, waktu itu aku sangat ketakutan. Aku menangis dan berdoa kepada Tuhan supaya Bunda jangan ‘dipanggil’ dulu karena aku masih punya kejutan untuknya.
Paginya ketika aku dan adik-adik bersiap untuk berangkat ke sekolah, tetangga sebelah rumah datang lagi dan meminta kami berkumpul. Dengan suara sedih dia memberitahukan Bunda sudah meninggal. Kami terpana sejenak kemudian isak tangis mulai meledak. Adik-adik menangis sambil meneriakkan nama Bunda. Oma juga menangis berusaha untuk menenangkan adik-adik. Pada saat itu aku berusaha menahan emosiku. Aku tidak mau menangis di depan adik-adik. Aku tidak mau adik-adikku melihat kakaknya menangis. Aku harus terlihat kuat di depan mereka. Bunda selalu bilang kalau laki-laki itu harus kuat. Aku harus menjadi pelindung bagi adik-adikku, aku harus menjadi contoh bagi mereka. Aku berusaha terlihat tegar di depan adik-adik walaupun hatiku ingin berteriak, ingin menangis.
Akhirnya aku tetap berangkat ke sekolah. Namun sebelum berangkat aku mampir ke rumah teman bunda yang anaknya juga temanku. Tadinya aku hanya bermaksud memberitahu bahwa bunda telah meninggal. Tetapi saat mulut ini ingin menyampaikan hal itu, linangan air mata tak terbendung. Aku menangis. Dengan lembut teman bunda memeluk aku, berusaha mengurangi kepedihan yang aku rasakan. Tetapi dalam dekapannya aku justru semakin tak sanggup menahan emosi. Perasaan bersalah sekaligus menyesal menghimpit dadaku. Perasaan yang terus menerus menyalahkan diriku ini.
Mengapa, mengapa aku tidak sempat memberikan surprise buat Bunda? Mengapa aku tidak diberi kesempatan melihat raut wajah kebanggaan dan kebahagiaannya? Mengapa aku lebih memilih menyimpan kabar bahagia itu ketimbang segera menyampaikannya kepada Bunda? Mengapa aku lebih memilih ditraktir makan pizza daripada menengok Bunda bersama adik-adik untuk terakhir kalinya? Mengapa? Mengapa aku tidak mendapat kesempatan itu?
Om, ribuan pertanyaan terus menghantui aku selama ini. Penyesalan yang begitu dalam, yang bahkan tak bisa aku ungkapkan lewat kata-kata ini, terus aku simpan sendiri. Bahkan Dewi, Isti, Ella, dan Teguh tidak ada yang tahu perasaanku ini. Waktu Oma masih hidup aku juga tidak cerita. Aku terus menyimpan perasaan ini Om. Karena aku tahu ini salahku, ini adalah keputusanku. Keputusanku ingin membuat surprise untuk Bunda yang ternyata tidak sempat aku ungkapkan. Ini membuat luka pada hati kecilku.
Sungguh sulit untuk menerima kenyataan ini. Aku memang dipersiapkan Bunda untuk selalu siap jika Tuhan menjemput Bunda. Tetapi aku sama sekali tidak siap untuk hal ini Om. Aku tidak siap jika rencana surprise-ku untuk Bunda ternyata tidak bisa aku laksanakan.
Tujuh tahun telah berlalu setelah peristiwa itu. Namun rasa sakit dan penyesalan ini ternyata masih membekas. Di saat aku menulis surat ini pun beberapa kali air mataku tak terasa telah membasahi pipiku. Setelah aku membaca curahan hati Om Andy mengenai Bunda di “Kematian (2)” yang Om tulis di Andy’s Corner, aku tak kuasa untuk menulis surat ini dan ingin menceritakan mengenai penyesalanku ini, yang belum pernah aku ceritakan kepada siapa pun. Paling tidak sekarang aku sudah lebih lega.
Terima kasih ya Om sudah menyempatkan waktu untuk membaca suratku yang panjang ini. Terima kasih juga sudah menjaga dan mengurusi aku dan adik-adik. Kami beruntung memiliki keluarga seperti Om Andy dan Tante Upiek yang rela mengorbankan banyak hal untuk kami. Sekali lagi terima kasih ya Om. Semoga kelak aku bisa berhasil seperti Om Andy, supaya aku bisa membuat bunda bahagia di surga.
Salam hangat penuh cinta,
P.J (2008)
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kita ngga akan pernah tahu sampai mana batas umur kita. Sebelum semua terlambat, sebelum tidak ada kesempatan untuk menyampaikan perasaan yang kita tahan selama ini atau tersimpan selama ini.
Hidup begitu singkat. Kadang kita merasa tidak saling membutuhkan, tidak saling mencintai, sampai maut akhirnya memisahkan kita. Akan lebih berarti wujud cinta yang kita perlihatkan pada orang-orang tercinta ketika mereka masih hidup, ketimbang air mata yang tumpah di pusara yang tidak lagi bermakna.
No comments:
Post a Comment